Masalah Sepak Bola Indonesia
Fri. May 31st, 2024 11:59 PM8 mins read
Masalah Sepak Bola Indonesia
Source: Bing Image Creator - Sepak Bola Indonesia

Karena masih hype buat ngomongin timnas sepak bola, hari ini gw kembali membahas tentang sepak bola Indonesia. 2 post terakhir gw juga tentang timnas. Sekarang scope-nya sedikit lebih luas, yaitu tentang masalah-masalah yang terjadi di persepak-bolaan Indonesia secara umum. Oh ya, disclaimer dulu, semua ini hanyalah opini pribadi gw, jadi boleh setuju boleh juga nggak😅.

Kualitas Wasit

Kita mulai dari yang paling sering dibahas, yaitu wasit🤭. Dari jaman dulu wasit di liga Indonesia emang sering jadi masalah. Terutama terkait offside, seringkali kita lihat kualitas wasit kita yang mengangkat bendera terlalu cepat setiap ada umpan terobosan meskipun bukan offside. Sebaliknya, bahkan offside-nya udah lewat 1 meter pun wasit ga menganggap itu offside. Belum lagi soal ketegasan, kadang wasit terlalu takut menghukum pemain tim tuan rumah. Pelanggaran keras yang layak kartu merah kadang ga ada kartu sama sekali. Pelanggaran di kotak penalti sering ga digubris. Untuk saat ini gw udah ga ngikutin liga Indonesia, tapi kalau dilihat dari berita, sekarang udah ada VAR. Seleksi wasit untuk Liga 1 udah ketat. Beberapa cuplikan keputusan wasit yang lewat di sosmed gw pun gw lihat udah ada peningkatan. Wasit udah mulai tegas untuk ngasih kartu. Bahkan PSSI sampai mendatangkan ahli wasit dari Jepang untuk membantu masalah ini. Ini patut diapresiasi juga sih. Tapi ini masih jauh dari kata “bagus”. Hanya sedikit wasit Indonesia yang lolos kriteria saat seleksi awal liga. Itu artinya sebagian besar wasit di Indonesia kualitasnya emang banyak yang kurang🤦. Untuk offside, gw rasa implementasi Semi-Automated Offside sangat diperlukan sih. Wasit luar aja kadang masih salah walau minim, apalagi wasit kita yang udah sering salah malah ga pakai Semi-Automated Offside.

Provinsi Banyak, Liga Cuma 3

Kita memiliki jumlah provinsi dan jumlah penduduk yang banyak. Tapi jumlah klub dan pemain sepak bola di Indonesia masih terhitung sedikit. Dampaknya kita jadi kekurangan stok pemain sepak bola. Gw juga udah pernah bahas ini di post tentang naturalisasi. Harusnya ada lebih banyak kasta lagi karena wilayah Indonesia itu sangat luas. Ini malah 3, peserta Liga 2 dan Liga 3 itu sangat banyak sekali. Persaingan klub akan lebih kompetitif untuk bisa naik ke Liga 1 jika kasta liga lebih banyak lagi dan menghemat anggaran klub tentunya. Jadi, nanti akan ada seleksi alam, hanya klub dengan finansial yang baik yang bisa lolos ke kasta tertinggi. Kalau yang terjadi saat ini malah klub yang finansialnya jelek masih dapat main di Liga 2.

Wilayah Sangat Luas

Indonesia ini adalah negara kepulauan yang sangat luas. Tapi saat ini Liga 1 masih 1 wilayah dengan jadwal yang padat. Secara finansial klub maupun fisik pemain tentu sangat berpengaruh. Terutama merugikan tim yang berasal dari Sumatera dan Papua yang harus tandang satu sama lain. Perkiraan waktu perjalanannya hampir 1 hari dengan banyaknya transit🥴. Di Eropa perjalanan dalam negeri masih bisa ditempuh menggunakan bus, akses tolnya pun sangat luas sehingga perjalanannya lebih nyaman. Bahkan untuk tandang ke luar negeri pun ada klub yang punya jet pribadi atau bekerja sama dengan maskapai untuk penerbangan spesial sehingga bisa berangkat kapanpun yang mereka mau. Sedangkan di Indonesia ga memungkinkan untuk tandang menggunakan bus ke luar pulau. Kalaupun bisa, akses tol di luar pulau jawa masih sangat terbatas jangkauannya. Naik pesawat pun masih tiket ekonomi, rawan delay dan pasti sangat melelahkan. Belum lagi pas nyampe kadang lokasi bandara, hotel, dan stadion sangat jauh, masih harus melakukan perjalanan tambahan lagi🫣. Pertandingannya tentu jadi ga optimal. Dulu gw pro soal format kompetisi 1 wilayah kayak di Eropa karena diadopsi negara maju. Gw ga tau jarak antar kota bahkan negara di Eropa itu sangat dekat. Gw ga tau kalau luas Inggris itu setengah dari pulau Sumatera. Tapi setelah mengetahui fakta jarak sebenarnya dari Sumatera ke Papua itu setara dari Inggris ke Russia, gw jadi berubah pikiran. Paling masuk akal kasta tertinggi Liga Indonesia memang 2 wilayah kayak terakhir 2014 lalu. Ini akan menghemat finansial klub, dan fisik pemain tiap pertandingan jadi lebih maksimal.

Finansial Klub Jelek

Masalah kedua adalah tentang finansial klub. Hingga musim ini kasus terlambat bayar gaji pemain pun masih terjadi. Tiap tahun pasti ada aja klub yang nunggak bayar gaji. PSSI harus tegas menyikapi ini. Kalau bisa klub yang nunggak dikurangi aja poinnya. Finansial yang bagus harus jadi syarat utama sebuah klub bisa ikut kompetisi. Industri di sepak bola Indonesia emang belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Di negara maju, pemasukan klub itu bukan hanya dari tiket dan sponsor, tapi juga dari transfer pemain. Kalau hanya mengandalkan tiket, sponsor, atau hadiah juara sekalipun belum tentu nutup pembukuan. Perputaran bisnis sepak bola itu salah satunya adalah lewat transfer pemain. Di sini transfer pemain itu jarang dilakukan. Kontrak pemain rata-rata setahun, bahkan ada yang hanya hitungan bulan. Dana masing-masing klub itu hanya cukup untuk satu musim saja. Musim depannya selalu tanda tanya. Ada juga tim yang abis diakuisi, langsung main di Liga 1, tapi basis suporter aja ga punya, mau profit dari mana? Ujung-ujungnya klub tersebut degradasi juga. Di industri, sepakbola itu tetaplah bisnis. Hal pertama yang perlu dipikirkan pemilik klub adalah gimana caranya cashflow jalan dulu deh. Kalau cashflow lancar, trus profit, baru deh ngomongin target. Kejauhan kalau mikirin juara atau promosi tapi finansial masih jelek.

Target Klub Tidak Realistis

Karena rata-rata kontrak pemain di sini hanya setahun, jadi hampir pasti tiap tahun itu komposisi pemain tiap klub akan berubah. Ga ada target jangka panjang di sini, semuanya jangka pendek. Target jangka pendeknya pun hampir semuanya ga realistis. Klub dengan finansial jelek aja dengan beraninya menargetkan juara atau memboyong pemain kelas dunia. Padahal gaji aja masih nunggak. Apa yang mau diincar dari proses yang sebentar itu? Makanya kandidat juara Liga 1 itu bisa siapa aja dan sulit diprediksi tiap musim. Beberapa pemilik klub kadang hanya memanfaatkan basis suporter untuk kebutuhan politik. Mereka menjanjikan ini itu yang tentu saja tidak realistis demi mengeruk suara tanpa peduli jangka panjangnya gimana. Suporternya mau-mau aja lagi digituin. Begitu tahun politik kelar klubnya mulai tunggak gaji dan kondisi klubnya jadi ga jelas. Ini udah jadi pemandangan yang biasa di Indonesia. Apalagi kalau klub tersebut punya basis suporter yang kuat, untuk menyenangkan hati suporter mereka asal ngomong masang target juara. Padahal secara teknis itu ga mungkin. Saat gagal ujung-ujungnya pelatih dan pemain yang disemprot. Makanya ga jarang pergantian pelatih di Liga Indonesia sering terjadi hampir di tiap klub🤯. Dampaknya program jangka panjang klub ga ada dan membuat kualitas Liga Indonesia semakin memburuk. Bahkan ada pelatih Liga 2 musim lalu yang di dalam kontraknya ada klausa kontrak diputus jika kalah 3x😤. Cukup kejam untuk sekelas Liga 2😅.

Pembinaana Usia Dini Buruk

Masalah selanjutnya adalah tentang pembinaan usia dini. Sebagian besar klub di Indonesia ga ada pembinaan usia dini. Kalaupun mereka mengikuti liga kelompok umur, biasanya itu hanyalah pemain cabutan untuk turnamen itu saja. Setelah turnamen kelar mereka dilepas begitu aja. Ga ada kontrak jangka panjang dan tim berjenjang. Ini mungkin masih berkaitan dengan poin finansial klub. Klub hanya peduli pada tim senior mereka. Sedangkan tim kelompok umur sekedar untuk memenuhi syarat dari PSSI saja. Padahal kalau mereka serius, ini bisa jadi bisnis buat mereka. Kalau mereka benar-benar mengoptimalkan pembinaan, saat dewasa pemain tersebut dapat jadi tulang punggung tim tersebut. Selain itu kalau ada tim lain tertarik tentu bisa ditransfer juga. Nothing to lose untuk klub. Menurut gw PSSI perlu menerapkan aturan Homegrown Player seperti di Eropa, di mana masing-masing tim harus punya minimal 5 pemain yang pernah berlatih minimal 3 tahun di akademi kelompok umur klub untuk didaftarkan tiap musim. Jadi, tiap klub “dipaksa” untuk melakukan pembinaan. Jika ada turnamen timnas kelompok umur, bisa diambil dari sini. Ga perlu kayak sekarang, di mana pelatih timnas kelompok umur harus blusukan ke daerah-daerah kayak nyari jarum di jerami, kemudian pemain dilakukan seleksi berjenjang dari daerah, provinsi, hingga pusat. Udah kayak seleksi akpol segala. Ga efektif seperti itu. Di Liga 1 saat ini ada aturan untuk memainkan 1 pemain U23 minimal 45 menit di tiap pertandingan sebagai bentuk pembinaan usia dini. Menurut gw ini ga efektif, karena mereka mendapatkan jam terbang bukan dari kerja keras mereka bersaing dengan senior, melainkan lewat hadiah regulasi. Selain itu, ini bisa merusak strategi pelatih. Lebih baik mereka ini diberikan kompetisi usia dini yang panjang. Saat ini emang sudah ada kompetisi EPA, tapi sepengetahuan gw EPA ini hanya turnamen jangka pendek. Di mana tim yang gugur lebih awal akan tersisih dan ga ada lagi kompetisi buat mereka. Lebih baik bikin turnamen jangka panjang agar semua tim dapat berkompetisi dengan kompetitif. Fungsi turnamen kelompok umur ini kan agar mereka mendapatkan jam terbang dan sentuhannya terasah, bukan untuk ngejar juara. Kalau ini udah terimplementasi dengan baik, otomatis stok jumlah pemain sepak bola di Indonesia akan lebih banyak lagi dan kita ga bergantung pada naturalisasi lagi.

Kekurangan Staff Profesional

Mungkin beberapa tim udah ada yang menggunakannya, tapi sebagian besar klub Liga Indonesia hanya mengontrak pelatih beserta asisten-asistennya dan tim medis sebaga staff. Jarang ada klub yang memiliki staf profesional seperti Technical Director, Director of Football, Performance Analyst, Recruitment Analyst, hingga Scout. Padahal di era sepakbola modern hal seperti itu cukup penting. Liga Indonesia masih ketinggalan soal ini. Di sini semua hal masih dilakukan oleh pelatih kepala yang merangkap semuanya. Jadinya malah ga fokus di taktikal. Wajar aja gaya main klub Liga Indonesia itu pada jelek🤦. Tim medis pun beberapa waktu lalu banyak juga yang ga sesuai standar. Ada dokter gadungan lah, anak PMR, bahkan orang-orang yang ga ada sertifikat di bidang medis bisa menjadi staf medis suatu klub😓.

Fasilitas Kurang

Kita tahu hampir semua stadion di Indonesia itu jelek. Sebagian besar ga kuat nampung hujan yang curah hujannya emang lebih lebat dibanding negara lain karena kita wilayah tropis. Pemilik stadion di Indonesia masih dimiliki pemerintah dan belum ada klub yang punya stadion sendiri karena pembangunan dan perawatannya sangat mahal. Karena perawatan yang mahal inilah kadang stadion digunakan untuk kegiatan lain seperti konser atau kampanye. Sebenarnya itu sah-sah aja, Wembley di Inggris pun sering dipake konser. Masalahnya setelah acara tersebut rumputnya jadi jelek dan hancur. Entah apa yang salah dengan perawatannya. Biasanya stadion itu bagus hanya ketika setelah diresmikan seperti untuk acara PON. Begitu acaranya kelar, perawatannya jadi terlantar. Apalagi kalau klub yang ada di kota tersebut ga main di liga kasta tertinggi, makin ga terawat stadionnya karena ga ada pemasukan. Fasilitas ini scope-nya ga hanya stadion, tapi juga semuanya, termasuk lapangan latihan, fasilitas latihan, gym, jacuzzi, dan lainnya. Hampir semuanya kita masih tertinggal.

Profesionalitas Pemain

Sekarang poin tentang pemainnya. Dari interview pemain asing di Youtube yang gw tonton juga sering bahas ini. Banyak pemain lokal yang bermain hanya untuk sekedar melengkapi kebutuhan hidup. Mereka merasa cukup dengan mendapat gaji dari klub. Ga ada keinginan untuk bisa abroad, atau berusaha meningkatkan skill. Jarang ada pemain lokal yang menambah porsi latihan di klubnya. Terkait kedisplinan, gw juga sering mendengar ini. Banyak yang jam karet. Padahal disiplin itu adalah hal wajib bagi atlet profesional. Lalu terkait makanan, banyak juga yang masih ga peduli terkait makanan, makan gorengan, mie instant, fast food, dan makanan sejenisnya. Padahal mereka atlet profesional. Harusnya mereka lebih tau. Bukan berarti diharamkan makan makanan itu. Dalam diet itu ada istilahnya cheating, yaitu boleh “melanggar” aturan makan. Tapi itu frekuensinya jarang, misalnya sekali sebulan saja.

Suporter Sumbu Pendek

Fanatisme buta dan ricuh hingga saat ini masih melekat pada mayoritas kelompok suporter di Indonesia. Sering banget mereka rusuh antar suporter dan saling menebar kebencian satu sama lain. Nyawa jadi terlihat ga berharga. Dengan bangganya pula mereka memelihara itu. Orang yang ga bersalah pun ikut terseret. Mereka juga beberapa kali melakukan sweeping berdasarkan plat nomor kendaraan, meskipun pemilik kendaraan tersebut ga termasuk suporter. Ini tolol sih🤬. Ricuh itu ga hanya antar suporter saja. Dengan pemain dan manajemen klub pun sama. Kadang tuntutannya ga masuk akal juga, ingin juara atau promosi tapi ga mengerti kondisi timnya. Mereka hanya penikmat juara, bukan penikmat sepak bola. Begitu permintaannya ga dituruti langsung ricuh masuk ke lapangan, atau lempar flare hingga timnya kena sanksi. Kadang target udah tercapai pun mereka masih ribut. Alasannya karena cinta klub tapi ujung-ujungnya malah makin menyengsarakan klub😠. PSSI kayaknya perlu memberlukan sanksi bagi suporter yang pernah membuat ricuh ini. Mungkin dengan menambah mesin Face Detection di setiap stadion, jadi mereka yang pernah bikin ricuh ga boleh masuk ke stadion. Selain itu, masih sedikit suporter yang membantu keuangan klub dengan membeli merchandise atau jersey original klub. Masih banyak yang lebih memilih barang KW. Padahal menurut gw harganya ga jauh beda. Satu jersey klub di Indonesia itu masih terjangkau harusnya bagi mayoritas kalangan pekerja. Kalaupun belum mampu juga bisa dengan membeli merchandise semampunya. Itu lebih berguna untuk klub daripada membeli barang KW.

Kira-kira begitulah permasalahan di persepak-bolaan Indonesia hingga saat ini yang gw amati. Semoga PSSI bisa membenahi permasalahan-permasalahan yang sudah berlarut ini😇.

© 2024 · Ferry Suhandri