Setiap federasi sepakbola di dunia pasti memiliki permasalahan masing-masing. Termasuk PSSI. Harus kita akui, PSSI udah lebih baik dibanding yang dulu-dulu. Kita melihat perkembangannya. Tapi bukan berarti PSSI udah bebas dari berbagai masalah. Banyak hal yang harus di-improve PSSI. Masih banyak polemik yang terjadi. Gw sebagai penonton biasa pun ter-trigger ingin menanggapi isu dan polemik ini. Yang paling sering dibahas di sosmed adalah terkait naturalisasi. Daripada dipendam begitu saja di kepala, mending gw tulis aja di blog ini. Berikut ini opini gw terkait naturalisasi yang terjadi di sepak bola Indonesia:
Syarat Naturalisasi
Naturalisasi adalah proses pemberian kewarganegaraan Indonesia kepada warga negara asing. Karena Indonesia tidak menganut status kewarganegaraan ganda, maka warga negara asing yang dinaturalisasi harus mencopot kewarganegaraannya yang lain. Ini bisa dimanfaatkan oleh federasi untuk mendapatkan pemain bola di luar negaranya. Ada beberapa syarat seseorang bisa dinaturalisasi menurut aturan FIFA:
- Salah satu ayah atau ibu kandungnya orang Indonesia;
- Salah satu kakek atau nenek kandungnya orang Indonesia;
- Lahir di Indonesia meskipun ga punya darah Indonesia;
- Tinggal 5 tahun berturut-turut di Indonesia;
Sedangkan syarat naturalisasi dari negara Indonesia adalah:
- Naturalisasi murni, yaitu tinggal 5 tahun berturut-turut di Indonesia atau 10 tahun tidak berturut-turut;
- Naturalisasi perkawinan campur, yaitu menikah dengan orang Indonesia;
- Naturalisasi istimewa, yaitu demi kepentingan negara atau karena berjasa bagi negara;
Aturan negara di atas ada pengecualian bagi anak yang lahir dari perkawinan campur, sehingga dia otomatis mendapatkan status WNI dari lahir dan boleh memiliki kewaraganegaraan ganda hingga usia 18 tahun. Namun dari umur 18-21 tahun dia wajib memutuskan apakah akan memilih menjadi WNI atau tidak. Jika telah berusia 21 tahun dan belum memilih, maka otomatis status WNI anak tersebut hilang. Jika memilih WNI, maka dia cukup bikin KTP dan menanggalkan status WNA. Contohnya yang terjadi pada Elkan Baggot dan Irfan Bachdim, mereka bukan naturalisasi, tapi anak hasil perkawinan campur. Misalkan setelah umur 21 tahun dia terlambat memutuskan kewarganegaraan, maka dia tetap diberi tenggang waktu hingga umur 22 tahun untuk mengajukan pengembalian status kewarganegaraan yang hilang. Ini juga bukan naturalisasi, tapi tetap harus lewat proses yang rumit dan ada biaya administrasinya. Contohnya Cyrus Margono yang melakukan proses pengajuan pengembalian status kewarganegaraan yang hilang.
Warga negara asing yang ingin berseragam timnas harus memenuhi masing-masing salah satu syarat dari FIFA dan UU negara Indonesia di atas dan belum memiliki caps di timnas senior untuk negara lain sebelumnya. Hanya sebagian kecil naturalisasi murni di timnas seperti Gonzales, Beto, Vizcarra, Osas, Spaso, dan lainnya. Sebagian besar naturalisasi di timnas sekarang adalah lewat jalur naturalisasi istimewa yang diajukan oleh PSSI dan Kemenpora karena dianggap sebagai kepentingan negara.
Naturalisasi vs Pemain Keturunan
Banyak juga yang berdebat mengenai istilah ini. Pertama, “Naturalisasi” itu bukan konotasi negatif. Itu bukan hal yang memalukan atau aib. Itu istilah yang netral. Ga ada konotasi apapun dengan istilah itu. Sama halnya dengan konotasi “Chindo” atau “Pribumi”, ga ada konotasi yang aneh dengan istilah tersebut. Jadi, ga usah berasumsi aneh dengan penyebutan “Naturalisasi”. Lalu, ada juga yang bilang, pemain keturunan itu bukan naturalisasi. Ini juga salah kaprah, pemain keturunan yang bukan naturalisasi itu adalah yang salah satu orang tua kandungnya WNI dan usianya masih di bawah 21 tahun lalu mereka memilih WNI. Kalau kedua orang tua kandungnya bukan WNI (kakek atau nenek ga dihitung), maka secara UU negara Indonesia mereka harus melewati proses naturalisasi untuk menjadi WNI meskipun yang WNI adalah kakek atau neneknya. Mulai dari pengajuan administrasi, pengambilan sumpah, bikin KTP, hingga mendapatkan paspor seperti yang dilakukan Ivar Jenner, Rafael Struijk, Nathan Tjoe-A-On, Justin Hubner, Sandy Walsh, dan lain-lain. Beda halnya dengan pemain keturunan yang salah satu orang tua kandungnya WNI dan usianya saat itu belum 21 tahun seperti Elkan Baggot dan Irfan Bachdim, mereka ga perlu proses yang panjang seperti pemain naturalisasi, tinggal bikin KTP doang. Jadi, pemain keturunan tetap disebut pemain naturalisasi jika usianya lebih dari 21 tahun, atau yang WNI hanya kakek atau neneknya aja, bukan orang tuanya. Sebutan “pemain naturalisasi” itu bukan aib!
Pentingkah Naturalisasi?
Salah satu pendapat yang paling sering kita baca di sosmed adalah: “masa dari 270 juta penduduk Indonesia ga ada 11 pemain sepak bola yang jago?”. Itu opini yang jelek dan ga logis. Sama sekali ga nyambung logikanya. Kuantitas ga ada hubungannya dengan kualitas. India, Pakistan, dan China jumlah penduduknya juga banyak, tapi sepakbolanya juga jelek. Ga ada hubungannya jumlah penduduk dengan kualitas pemain sepak bola. Ga semua 270 juta penduduk Indonesia ini bisa main bola, mau main bola, atau berprofesi sebagai pemain bola. Data terakhir yang gw tahu, jumlah pesepakbola di Indonesia itu hanya 65 ribu orang. Itu jumlah yang sangat sedikit dibanding 270 juta penduduk, hanya 0.0002%. Bayangin mau bikin timnas, tapi stok pemainnya 0.0002%😓. Itu udah total keseluruhan pemain, belum di-filter pemain yang masih aktif, yang punya klub, atau yang benar-benar jago. Solusi jangka panjangnya adalah memperbanyak level kompetisi terutama usia dini. Itu baru dimulai musim ini dengan digelarnya EPA untuk beberapa level umur. Hasilnya tentu ga bisa langsung dirasakan sekarang, butuh 10 tahun lagi baru terasa. Untuk itu salah satu solusinya saat ini adalah naturalisasi.
Sampai Kapan Naturalisasi?
Naturalisasi emang sangat berdampak pada level permainan timnas sekarang. Tapi mau sampai kapan? Kalau menurut gw, ga masalah naturalisasi itu mau sampai kapan, entah untuk jangka panjang atau jangka pendek selama memenuhi syarat dan sesuai aturan FIFA maupun UU negara Indonesia. Tapi perlu diketahui, sebagian besar pemain keturunan yang kita naturalisasi saat ini adalah anak/cucu korban politik atau pengungsi dari konflik di masa lalu. Mulai dari diusirnya orang-orang Belanda yang udah menetap di Indonesia pasca merdeka, sehingga anak-istrinya yang asli Indonesia pun ikut diusir dan terpaksa ikut ke Belanda. Lalu pasca kemerdekaan ada juga konflik perang di daerah-daerah dan situasinya cukup chaos. Beberapa warga memutuskan mengungsi ke luar negeri dan menetap di sana. Atau orang Jawa yang diangkut oleh Belanda untuk dipekerjakan di Suriname dan ga ada biaya balik ke Indonesia seperti yang dialami kakeknya Rafael Struijk. Mereka eksodus besar-besaran di jaman itu. Selain itu ada juga beberapa WNI yang memang menikah dengan orang asing di era modern seperti ibu Elkan Baggot, tapi itu jumlahnya ga sebanyak pengungsi perang di masa lalu. Anak/cucu dari mereka inilah yang saat ini dapat kita naturalisasi sesuai aturan. Jumlahnya saat ini cukup banyak. Masalahnya, di masa depan jumlah ini tentu akan berkurang, karena secara aturan yang bisa dinaturalisasi adalah anak/cucu saja, sedangkan kalau cicit tidak bisa. Itu artinya generasi sekarang adalah generasi terakhir kita bisa mendapatkan stok naturalisasi yang banyak. Di masa depan mungkin kita akan kesulitan mendapatkannya. Dari PSSI juga perlu mempersiapkan diri dari sekarang agar kita tidak terlalu bergantung dengan naturalisasi di masa depan karena stoknya di masa depan pasti akan berkurang.
Profesi Atlet Sepak Bola di Indonesia
Realitanya memang sepak bola di Indonesia ini hanyalah hobi, bukan profesi. Menjadi atlet sepak bola bukanlah top of mind pekerjaan idaman orang Indonesia. Pekerjaan idaman di Indonesia tetaplah menjadi PNS, Polri, TNI, dagang di pasar, dan pegawai bank. Kalaupun ada yang bercita-cita menjadi atlet sepak bola, biasanya itu hanya anak kecil saja. Saat beranjak dewasa biasanya mereka udah ga tertarik menjadi atlet sepak bola lagi dan memilih profesi yang lebih umum. Sangat sedikit yang benar-benar bercita-cita ingin jadi atlet sepak bola saat dewasa. Kalaupun ada yang masih bercita-cita menjadi atlet sepak bola, biasanya terhalang restu orang tua yang merasa menjadi atlet ga bisa menghasilkan apa-apa. Banyak contohnya di lingkungan sekitar gw, ada yang dulunya jago main bola, ikut seleksi sana-sini, bahkan ada yang lolos seleksi PPLP Sumbar dan seleksi timnas junior, tapi ketika dewasa mereka ga mau lagi jadi pemain bola. Ada yang memilih kerja di Bank, berdagang, dan ada yang nyaleg di pileg kemarin. Ini salah satu masalah yang harus diselesaikan PSSI. Mereka harus bisa meyakinkan orang tua dan anak-anak potensial di Indonesia bahwa menjadi pemain sepak bola juga bisa menghasilkan uang. Mungkin karena industri sepak bola di Indonesia yang kurang begitu baik, sering telat gaji, makanya mereka berpiki ulang untuk menjadi atlet.
Verdict
Demikian unek-unek gw terkait naturalisasi di Indonesia. Sebenarnya ada unek-unek lain selain naturalisasi. Tapi untuk saat ini segini dulu, di lain waktu gw lanjut bahas tentang unek-unek sepakbola lainnya.