Ketika Impian Terkhianati
Sat. Oct 31st, 2020 04:02 PM8 mins read
Ketika Impian Terkhianati
Source: Bing Image Creator - Betrayal

Setiap orang berhak punya mimpi. Ga ada salahnya punya mimpi tinggi. Yang penting mimpi bukan sekedar mimpi. Ada visi dibaliknya yang harus dijaga. Ada planning yang jelas untuk menggapainya. Ada usaha yang harus dikerahkan. Ada doa yang dipanjatkan. Tak terkecuali gw, gw juga berhak punya impian setinggi langit. Gw bukan tipe orang yang kalo udah dapat sesuatu, ya udah, cukup sampai disini dan selesai. Tapi gw orang yang ketika mendapatkan sesuatu selalu ingin lebih dan lebih lagi. Jaman pasti berubah, pemikiran yang hanya jalan di tempat saja dan cepat merasa puas tanpa mengikuti perkembangan akan tertinggal. Orang yang bersifat ga mau scale up itu akan tertindas dan tergerus oleh perubahan di masa depan.

Menjadi Kompetitif

Gw menjadi orang yang kompetitif mungkin karena sering dibanding-bandingin waktu kecil. Pernah gw dibandingin dengan karakter fiktif bernama Felipe, yaitu saudara kembar gw yang tinggal di Amerika karena kepintarannya. Lalu, karena gw pendiam, gw dibanding lagi sama anak lain yang jago ngomong. Karena gw ga pernah juara 1 di kelas, gw dibanding-bandingin sama sepupu gw yang pernah juara 1 di kelas. Ga jarang juga apa yang dibandingin itu ga sesuai kenyataan. Contohnya dulu gw dibandingin sama teman gw yang juara 1 yang katanya suka makan sayur, teman gw yang jagoan di kelas juga dibilangnya kuat karena makan sayur. Awalnya gw percaya-percaya aja. Faktanya pernah suatu kali di kelas kepala sekolah nanyain ke anak-anak, "disini yang ga suka sayur coba angkat tangan!". 4 orang angkat tangan, 3 diantaranya: gw, si juara 1 dan si jagoan tadi🤣. Diboongin gw ternyata. Kadang gw mikir, kenapa kita selalu merasa terlihat rendah dibanding orang lain, padahal orang yang dibandingin belum tentu sesempurna itu. Sikap seperti itu hanya membuat kita lupa untuk mencintai diri sendiri. We're all perfect in our own way. Kadang kita juga perlu self-confidence terhadap apa yang dimiliki. Sesekali kita perlu tuli dan mendengarkan kata hati. Kita pasti punya apa yang orang ga punya dan kita bisa apa yang orang ga bisa. Mereka punya standar kesuskesan sendiri dan gw juga punya standar tersendiri, kenapa gw yang harus ngikutin standar mereka? Kenapa harus selalu kita yang mencontoh orang lain, kenapa bukan orang lain yang mencontoh kita?

Sifat Scale Up

Gw tipe orang yang selalu scale up terhadap setiap pencapaian gw. Kalau gw analisa sendiri yang bikin gw jadi begini adalah tekanan yang gw rasakan dulu saat masih kecil. Dari kelas satu SD gw sering masuk 3 besar di kelas. Memang saat itu gw udah bisa baca tulis dan perhitungan dasar sejak sebelum gw sekolah tanpa ikut les. Mungkin karena itu harapan keluarga gw besar ke gw untuk jadi orang besar di masa depan. Gw selalu diberi tantangan untuk selalu menjadi lebih baik dari sebelumnya. Gw diharapkan untuk selalu memenuhi target nilai-nilai di sekolah. Dari juara 2 turun ke juara 3 aja gw dianggap gagal. Walaupun gw merasa udah berusaha maksimal, ga jarang juga gw diancam ini itu. Begitu seterusnya tiap nilai gw turun, gw selalu dikritik abis-abisan.

Pernah suatu kali kelas 5 SD karangan gw terpilih untuk diikut-sertakan dalam lomba story telling bahasa Inggris, walau ga juara tapi gw bisa menembus perempat final sebelum akhirnya gw mundur karena gw ga betah di sana. Kemudian pas kelas 6 ada lomba lagi, tapi kali ini ceritanya bukan buatan gw dan gw sama sekali ga ngerti cerita tersebut karena dibikinin sama guru. Gw jadi kandidat untuk lomba itu lagi. Begitu keluarga gw tau, mereka meminta gw untuk belajar agar terpilih lagi. Gw kesusahan menghafal cerita tersebut karena gw ga paham ceritanya. Kalau waktu kelas 5 dulu sih masih mending, ceritanya bikinan gw, dan gw menerjemahkannya bareng kakak gw yang juga mahasiswa bahasa Inggris saat itu, gw paham isi tulisannya. Bahkan gw diancam sama orang tua gw sendiri kalau gw gagal ikut lomba tersebut gw ga dimasakin makanan lagi. Mungkin orang tua ga ingat pernah berkata begitu, tapi bagi anak yang sedang tumbuh berkembang di umur segitu akan selalu mengingatnya. Dan benar, gw terpilih untuk ikut lomba tersebut walau gw setengah hati. Gw sempat stress H-1 lomba tersebut karena gw kesulitan menghafal sesuatu yang gw sendiri ga paham alur ceritanya. Gw ga bisa tidur sampai jam 12 malam. Hasilnya bisa ditebak, saat lomba gw nge-blank. Gw mendapat nilai paling rendah diantara semua peserta. Gw mulai merasa kalau gw selama ini belajar, beprestasi hanya untuk mendapatkan impresi dari orang-orang. Sedangkan buat gw sendiri gw ga tau manfaatnya apa. Sejak saat itu gw ga peduli lagi tentang ancaman-anacaman yang dikatakan, gw hanya ingin menjalani hidup dengan normal seperti anak pada umumnya.

Titik Balik

Suatu kali saat gw lagi berkunjung ke rumah nenek, gw ditanyain sama seseorang, "nanti kalau gede mau jadi apa? Mau kayak kakak-kakak kamu? Yang satu kerjaannya ga jelas, tidur mulu, yang dua lainnya honorer doang, ga tau kapan diangkat jadi PNS (saat itu mereka belum PNS), yang satunya lagi nasib mujur aja dia jadi polisi, nilainya juga pas-pasan. Kamu mau kayak yang mana? Atau kamu mau nentuin nasibmu sendiri?"

"Ferry ga mau kayak mereka. Ferry mau jadi diri sendiri aja". Begitu jawab gw.

"kalau begitu, mulai dari sekarang belajar yang rajin, raih cita-cita yang tinggi biar kamu lebih sukses dari kakak-kakakmu". Kata-kata itu terus terngiang di telinga gw dan bikin gw bertanya-tanya, mau jadi apa gw kelak? Yang pasti gw ingin membuktikan bahwa gw bisa lebih sukses dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada kakak-kakak gw dan semua orang yang pernah dibanding-bandingin sama gw dulu.

Sebelum UN SMP, gw diajak ngomong sama bapak. Dia akan pensiun ketika gw SMA nanti. Dia mulai bertanya, apakah gw mau jadi polisi atau kuliah. Kalau kuliah, persiapkan dari sekarang dengan benar, mau kuliah dimana, jurusan apa, jangan sampai nanti sia-sia karena finansialnya ga sekuat sekarang. Gw mulai was-was terhadap masa depan. Ada benarnya sih, saat itu gw masih belum tau mau kuliah jurusan apa karena selama ini gw hanya belajar tanpa tau minat gw apa. Selama ini di SMP gw sering nyontek dan hanya berorientasi nilai aja, yang penting nilai gw bagus biar ga dimarahin. Gw mulai untuk belajar dengan benar dan menghindari nyontek saat UN SMP. Walaupun beberapa mata pelajaran saat itu gw masih nyontek karena pengaruh teman-teman, tapi mostly gw ga nyontek. Hasilnya ternyata UN Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris gw bagus tanpa nyontek. Sikap untuk tidak nyontek ini terbawa hingga SMA walau efeknya di awal SMA nilai gw jadi jelek. Selain itu nilai TIK gw juga tinggi. Kebetulan saat itu kakak gw punya warnet dan gw hoby melakukan eksperimen-eksperimen dengan teknologi. Gw mulai berpikir bahwa bakat gw di bidang IT.

Belajar Mandiri

Gw dianggap manja karena selama ini gw hanya bergantung ke keluarga. Mungkin karena gw anak bungsu. Gw dianggap ga bisa apa-apa tanpa dibantuin. Gw dibilang ga mandiri dan akan kesulitan nantinya saat dewasa. Ada benarnya. Gw ngerasa gw harus mencoba untuk keluar, karena gw merasa wawasan gw terlalu sempit, masih sebatas lingkungan keluarga saja. Ga mungkin selamanya gw bergantung sama keluarga. Gw harus bisa berdiri dengan kaki gw sendiri, apalagi gw laki-laki, kelak akan punya tanggung jawab yang lebih besar. Akhirnya gw memilih kuliah di sebuah politeknik swasta di Bandung. Gw ingin mengukur diri gw seberapa kuat gw bisa survive di negeri orang.

Survival and Betrayal

Syukurnya, gw berhasil survive dari tempaan-tempaan yang membebani gw dulu. Hasil tempaan itu membangun karakter gw menjadi orang yang selalu scale up, punya planning jelas, menjadi unik, selalu berusaha, dan berjiwa kompetitif. Gw selalu ingin lebih dan lebih lagi. Selalu ada goals berikutnya yang ingin gw raih ketika gw berhasil menuntaskan sesuatu. Gw ingin berterima kasih kepada orang-orang yang udah nge-push gw dulu hingga gw bisa berkembang dan selalu masih ingin berkembang. Gw berhasil mandiri, berdiri dengan kaki gw sendiri. Harapan besar mereka ingin gw lebih sukses dari mereka mulai terwujud dan gw masih ingin lebih. Ga percuma selama ini gw belajar keras demi mimpi masa depan yang lebih baik. Sayangnya, ketika buah dari tempaan itu mulai terlihat, gw disuruh melupakan segalanya. Ga adil rasanya. Setelah mengalami semua tekanan tersebut dan meraih apa yang gw impikan, gw diminta untuk meninggalkan mimpi yang gw perjuangkan. Setelah dibuai dengan mimpi-mimpi indah, masa depan yang cerah, motivasi-motivasi yang mereka ucapkan dulu seperti ga ada gunanya. Padahal mereka sendiri yang membentuk karakter gw seperti ini, dan sekarang gw diminta untuk meninggalkannya. Gw dibujuk dengan alasan-alasan yang ga sejalan dengan logika gw dan cenderung dipaksa. Gw rasa jalan pikiran kita udah beda. Sakit memang begitu mengetahui kata-kata manis mereka tentang cita-cita tinggi, tidak bergantung pada orang lain, lebih sukses dari saudara gw, ternyata hanya motivasi palsu. Semangat yang diberikan tentang cita-cita gw untuk menjadi pilot, dokter, insinyur, profesor, ilmuwan, itu semua hanya harapan palsu belaka. Mereka hanya berpura-pura mendukung yang gw cita-citakan. Gw merasa dikhianati semuanya. Gw kembali dengan perasaan sangat kecewa. Bapak gw keluar dan bilang, "Ga usah dengerin mereka. Bisa kerja di Jakarta aja udah bikin gw bangga. Yang penting bahagia, baik-baik di sana, pinter-pinter jaga diri. Gw percaya anak laki-laki gw bisa, kalau orang bisa, kita juga harus bisa". Sebuah kalimat yang sangat sederhana tapi menggetarkan hati gw, dan gw nangis saat itu. Kayak ga percaya, orang yang selama ini sifatnya bertolak belakang dengan gw lebih menghormati dan yakin sama gw, padahal dulu sering gw ribut sama beliau.

Anomali Pegawai Pemerintahan

Gw ga bermaksud merendahkan Pegawai Pemerintahan. Gw berpikir bahwa bekerja di pemerintahan bukan jalan gw. Banyak hal tentang Pegawai Negeri ga sejalan dengan prinsip gw dalam memandang. Mayoritas orang memilih kerja di pemerintahan bukan karena niat tulus ingin mengabdi kepada negara, melainkan hanya mengincar tunjangan saja. Sedangkan gw berpandangan kerja itu bukan hanya tentang materi. Uang memang penting, tapi yang paling penting adalah tujuan dari kerja itu sendiri, karena kerja itu meluangkan sebagian besar waktu untuk melakukan hal-hal yang produktif. Rugi jika melakukan sesuatu hanya untuk datang, pulang dan bawa uang, tapi tidak mencintai apa yang dilakukan. Doing something you don't love is a suicide. Passion yang paling utama, seperti penyanyi yang menghayati liriknya, pesepakbola yang mencintai klubnya, atau dokter yang mengagumi teorinya. Dan gw sebagai engineer yang menikmati berbagai eksperimennya. Gw kerja bukan karena gw "harus" kerja, tapi karena gw "suka" yang gw kerjakan.

Bicara tentang tunjangan hari tua, toh sekarang semua orang sudah punya asuransi masing-masing. Selain itu juga tergantung gaya hidup, pinter-pinter ngatur duit aja. Gw sendiri dari dulu emang jarang foya-foya dan sering nabung. Lagian jaman sekarang masa se-pesimis itu sih? Kalau mau pesimis gw juga punya jawaban yang lebih pesimis lagi, hidup juga belum tentu sampai tua. Tapi gw ga sepesimis itu, gw masih optimis dengan keahlian yang gw kuasai. Di masa depan orang-orang masih bergantung dengan teknologi. Siapa yang ga butuh teknologi? Gw lebih memilih untuk punya passive income yang bisa gw puterin di hari tua nanti daripada berharap pemerintah memberi sumbangan buat gw sampai mati. Dulu gw diharapkan agar bisa mandiri dan gw masih ingin mandiri tanpa harus bergantung pada pemerintah hingga gw tua kelak. Wajar sih mereka khawatir, karena mayoritas di keluarga gw kerja di pemerintahan dan yang ga kerja di pemerintahan rata-rata gagal. Tapi justru itu jadi tantangan buat gw untuk membuktikan sukses itu bukan hanya di pemerintahan doang. Gw ingin jadi orang pertama yang bisa melakukan itu. Gw percaya rejeki datang dari berbagai arah, tinggal berjuang cerdas aja.

Sistem di pemerintahan masih kuno, jabatan dibangun bukan karena skill murni, tapi berdasarkan ijazah dan asal sekolah, yang berasal dari sekolah ternama biasanya lebih dihormati. Sistem kayak gini ga adil menurut gw, ga selalu S2 lebih pintar dari S1, ga selalu orang yang udah kerja 3 tahun lebih pintar dari orang yang baru bekerja 1 tahun, ga selalu orang yang kuliah di universitas ternama lebih baik dari lulusan kampus biasa. Walaupun di sektor industri masih ada juga yang melakukan hal yang sama tapi udah jarang. Mungkin ini salah satu penyebabnya banyak orang berijazah yang nganggur karena selama ini mereka kuliah hanya untuk mendapatkan nilai di ijazah, bukan skill. Banyak anak kuliah yang gw tanyai, ketika lulus mau jadi apa, mereka pada ga tau, bisa apa aja, mereka bingung. Tujuan mereka hanya kuliah, lulus, dan cari kerja, tapi gatau arahnya, yang penting kerja aja, ga ada visi. Walaupun nilai mereka bagus, mereka bingung mau jadi apa. Entah salah mereka, salah kampus mereka, atau salah pemerintah, gw ga tau siapa yang harus disalahkan melihat fenomena ini.

Di sektor industri, orang ga peduli berapa IPK gw, apa ijazah gw, dimana gw kuliah. Semua diperlakukan sama. Gw ga kalah saing dengan anak-anak sarjana lulusan kampus ternama. Penghasilan dan jabatan didapat berdasarkan skill dan pengalaman. Hal menarik lainnya, gw bebas pindah kerja kapanpun dan dimanapun, berbeda dengan di pemerintahan yang harus nurut ngikutin dimanapun penempatan. Disini kalau bosen atau merasa kurang berkembang di satu tempat tinggal pindah. Bahkan kadang ga perlu repot-repot apply pekerjaan, pinter-pinter aja bikin CV, web portofolio dan profil LinkedIn, HR perusahaan lain nanti yang bakal ngasih undangan. Alhamdulillah sampai sekarang pun undangan interview dari perusahaan lain untuk pindah kerja masih ngantri di LinkedIn.

© 2024 · Ferry Suhandri